Kamis, 15 Januari 2015

Pengalaman Pertama Mendaki Gunung


Mendaki Gunung Agung

           Halo guys how are you today?? I hope kalian baik-baik saja. Pada postingan kali ini gue bakal menceritakan kisah pengalaman pertama kali mendaki gunung lewati lembah berjalan-jalan indah (kemungkinan mendaki gunung lagi adalah 96,13%) hehehe.
          Mendaki gunung adalah salah satu kegiatan pencinta alam, ketika yang berarti hanyalah sandang dan pangan. Kesabaran, kebersamaan, daya tahan sangat diuji. Jika kalian ingin mendaki gunung minimal bawalah 2 botol besar air mineral dan 4 roti besar. Masing-masing 1 botol minum 2 roti untuk naik turun gunung. Itu STANDAR MINIMAL loh menurutku. Gunakan pakaian yang tebal untuk menutupi tubuhmu dan sarung tangan. Batunya banyak yang tajam jadi sarung tangan sangat berfungsi. Dan akan lebih baik juga bawa jas hujan untuk berjaga-jaga. Ingat juga jaga sikap, gunung adalah tempat yang suci. Penjelasan dari seorang amatir huehehe.
          Baik beginilah awal kisahnya tet teret teret. 31 Desember 2014 dalam memperingati tahun baru yang biasanya dinikmati dengan minum-minum, gue dan Ari Sastra memutuskan untuk mendaki gunung, gunung dalam makna yang sebenarnya *tepuk tangan*. Kami tak hanya berangkat berdua namun juga dengan teman yang lain yaitu Wira, Pande, Andis, Teja, Chandra dan 2 orang lagi yang namanya belum teridentifikasi (lupa kenalan). Awalnya sih ingin mendaki Gunung Batur karena kediktatoran Ari Sastra, di putuskan mendaki Gunung Agung.
          Kami berangkat jam 10.30 p.m. dan rencananya begadang sampai jam 2 a.m. di Pura Pasar Agung lalu mendaki. Setibanya di Pura Pasar Agung kami sembahyang dulu untuk memohon keselamatan, ingat kalau sembahyang isi sesari seikhlasnya. Setelah sembahyang kami bercerita-cerita sambil nunggu jam 2. “Jedar.. jedar.. jedar..” suara petir kemudian hujan. Oh shit padahal sedikit lagi mendaki. Hmm,, akhirnya kami tidur nunggu hujan reda, saling pelukan seperti teletabis dan rebutan selimut dengan gaya manja sampai jam 5 pagi, oh tidaaaak.
          Dalam pikiran ini jadi ga, jadi ga, soalnya ini udah jam 5 pagi di tanggal 1 Januari 2015. Eh ternyata jadi. Dengan modal nekat kami mendaki gunung kayak di film 5 cm. Penerangan hanya dengan senter, gue make senter hasil minjam dari paman. Ga punya ya minjam (Ingat, kalau minjam wajib kembaliin). Jalan becek, hawa dingin hutan kami terobos. Pelan-pelan asal selamat. Di antara kami yang paling sering ngaso adalah Andis, mungkin karena lama ga olahraga atau dia perokok sehingga nafasnya pendek. Terus berjalan dan sampai pada sebuah pelinggih dan juga mata air, kami sempatkan sembahyang di sana. Di dekat pelinggih itu ternyata ada yang bikin tenda juga.
          Habis sembahyang kami melanjutkan perjalanan lagi, jalan tanah menanjak yang dikelilingi pohon masih normal bisa kami lalui. Hutan yang terbakar di Gunung Agung masih tampak terlihat bekasnya. Sampai akhirnya kami menemui jalan terjal bebatuan berubahlah kami menjadi Spider-man. Kamu cuma perlu kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa. Ehem ehem.
          Dalam perjalanan ini kami bertemu dengan rombongan lain baik orang lokal, turis Eropa dan turis Singapura. Dan kami sempat berselfie dengan orang-orang Singapur yang putih-putih ini, kali aja cakepnya nular huehehe.
Foto Bareng Turis Singapura
          Hasrat berselfie sudah terpenuhi lalu jalan lagi, terus daki daki dan daki dan taraaaa... Sampai puncak juga jam 10 pagi. Jalan dari bawah ke puncak 5 jam. Efek keseringan istirahat dan berfoto-foto, dasar alay. Di puncak foto lagi haha. Andis dan Agus aja yang ga sampai puncak, dia melambaikan tangan ke kamera.
Foto di Puncak Gunung Agung
          Akhir dari ‘penderitaan’ ini belum terakhir. Kabut mulai bermunculan, kami harus turun. Turun gunung lebih sulit karena licin dan mungkin terpeleset. Makanan dan minuman habis saat mendaki jadi ga ada bekal untuk turun, salah satu bikin kesal karena ga semua yang bawa makanan. Badan gemetar, lapar disanalah emosi gue memuncak. Gue kasihan ngeliat Teja kecapean jadi gue temenin dia sampai akhirnya tertinggal jauh dari rombongan. Gue dan Teja maksain diri sampai akhirnya ketemu rombongan lagi. Dengan senyum simpul dan kemenangan sampai bawah dengan selamat. Asalkan terus bersama dan tentunya ada minuman dan makanan hal ini akan berjalan lebih mudah.
          Mendaki gunung itu adalah sebuah penderitaan, penderitaan dalam makna positif. Efek mendaki ini kaki gue tegang selama 5 hari, ya kaki gue yang tegang bukan yang lain. Kurangnya mendaki gunung kali ini adalah tak dapar lihat matahari terbit, soalnya berangkat jam 5 pagi. Lain ceritanya kalau mendaki jam 2 pagi. Sekian :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar